Buku Sejarah Indonesia Untuk Guru Dan Siswa Kelas 10 Sma Ma Smk Mak Kurikulum 2013
Berikut ini yaitu berkas Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013. Download file PDF.
Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013 |
Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013
Berikut ini kutipan teks/keterangan dari isi berkas Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013:
Petunjuk Umum
Petunjuk Umum
Maksud dan Tujuan Mata Pelajaran Sejarah Indonesia
Rasional
Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan penggalan yang tidak terpisahkan dalam pembentukan tabiat dan kepribadian bagi generasi emas. Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK). Sejarah mempunyai makna dan posisi yang strategis, mengingat:
a. Manusia hidup masa sekarang sebagai kelanjutan dari masa lampau sehingga pelajaran sejarah memperlihatkan dasar pengetahuan untuk memahami kehidupan masa kini, dan membangun kehidupan masa depan.
Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan penggalan yang tidak terpisahkan dalam pembentukan tabiat dan kepribadian bagi generasi emas. Mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan mata pelajaran wajib di jenjang pendidikan menengah (SMA/MA dan SMK/MAK). Sejarah mempunyai makna dan posisi yang strategis, mengingat:
a. Manusia hidup masa sekarang sebagai kelanjutan dari masa lampau sehingga pelajaran sejarah memperlihatkan dasar pengetahuan untuk memahami kehidupan masa kini, dan membangun kehidupan masa depan.
b. Sejarah mengandung insiden kehidupan insan di masa lampau untuk dijadikan guru kehidupan (Historia Magistra Vitae).
c. Pelajaran Sejarah yaitu untuk membangun memori kolektif sebagai bangsa untuk mengenal bangsanya dan membangun rasa persatuan dan kesatuan.
d. Sejarah mempunyai arti strategis dalam pembentukan tabiat dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan insan Indonesia yang mempunyai rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Mata pelajaran Sejarah Indonesia dikembangkan atas dasar:
a. Semua wilayah/daerah mempunyai bantuan terhadap perjalanan Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah;
b. Pemahaman wacana masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan;
c. Setiap periode Sejarah Indonesia mempunyai insiden dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah serta keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia;
d. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan insiden sejarah yang penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah kepada generasi muda bangsa;
e. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thinking), konsep waktu, ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam mempelajari Sejarah Indonesia.
Pengertian
a. Ilmu Sejarah
Sejarah diartikan secara sederhana sebagai ilmu wacana asal undangan dan perkembangan insiden yang telah terjadi. Menurut Taufik Abdullah sejarah sanggup dilihat dalam beberapa sisi, yaitu sejarah sanggup dipakai sebagai nasehat contohnya dengan mengutip kata-kata Sukarno “jangan sekali-sekali melupakan sejarah” ini berarti sejarah yaitu sebuah kearifan yang sanggup membimbing kita dalam mengarungi hidup ketika ini dan merintis hari depan. Sejarah sanggup juga dimaknai sebagai “guru” menyerupai “....sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa....”. Dalam bidang filsafat, Hegel menyampaikan bahwa “sejarah yaitu proses ke arah cita kemanusian yang tertinggi”.
Kemudian bagaimanakah sejarah sebagai ilmu? Sejarah sebagai Disiplin Ilmu sanggup dilihat sebagai berikut:
1. Perhatian utama sejarah yaitu masa lalu. Selanjutnya masa kemudian barulah diangap ada, sebagai sasaran kajian, kalau terdapat bekas dan bukti yang bisa diteliti.
a. Kajian sejarah hanya akan memperhatikan insiden yang menyangkut eksklusif sikap insan di masa lalu. Gempa bumi, banjir, komet yang jatuh ke bumi, gerhana matahari dan sekian macam insiden berada di luar khusus perhatian ilmu sejarah. Hal ini termasuk natural history. Semua insiden alam itu barulah dianggap penting kalau eksklusif berkaitan dengan pola sikap insan (seperti perjuangan insan menanggulangi banjir, kepercayaan wacana makna gerhana), atau eksklusif mengubah nasib manusia. Contohnya meletusnya gunung Vesuvius di zaman Eropa Kuno yang menenggalamkan Kota Pompei, meletusnya Gunung Tambora di kala ke-9 yang melenyapkan dua kerajaan di Pulau Sumbawa.
b. Secara metodologis dan teknis, sejarah umat insan dibagi atas dua zaman: zaman sejarah dan zaman pra-aksara. Manusia memasuki zaman sejarah bila zaman itu menghasilkan bukti-bukti tertulis. Disebut zaman pra-aksara lantaran hanya meninggalkan bekas-bekas tak tertulis, menyerupai fosil, alat-alat, dan lukisan batu.
c. Secara metodologis dan teknis pula, sumber tertulis di atas kertas atau yang didapatkan secara ekspresi menjadi sasaran penelitian calon sejarawan. Tulisan renta dan kuno dan tertulis dalam bahasa arkais yang terpahat di batu, lempengan tembaga, dan sebagainya diselenggarakan oleh ilmu arkeologi dengan segala cabangnya.
d. Apakah semua tindakan insan di masa lampau yang tertentu itu harus masuk rekonstruksi sejarah? Konsep “sejarah total” hanya bertolak dari sikap yang mengharuskan sejarawan untuk memperhitungkan semua dimensi kehidupan sosial dalam perjuangan merekonstruksi insiden sejarah.
2. Corak penulisan sejarah dibedakan menjadi dua:
a. Penulisan sejarah umum, yang menguraikan perkembangan sejarah dari suatu bangsa atau suatu wilayah dan bahkan suatu lokalitas dari zaman ke zaman menyerupai “Sejarah Indonesia” atau “Sejarah Eropa” atau “Jakarta di Abad ke-20”.
b. Penulisan sejarah khusus, yang ditentukan oleh tema tertentu. Corak sejarah ini disebut juga sejarah tematis. Corak penulisan sejarah menyerupai ini umpamanya ialah “Budaya Kuliner Zaman Kolonial”, “Reformasi Agraria di Awal Abad Ke-20”, “Pertempuran Lima Hari di Semarang” dan sebagainya. Dengan kata lain, judul-judul ini hanya tertarik pada aspek tertentu atau insiden tertentu saja; kuliner, gerakan keagamaan, dan pertempuran yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Bila kita ingin mempelajari sejarah ekonomi maka perlu kita membaca buku karya Anne Booth.
Ini yang dimaksud dengan pendekatan tematik integratif, Sartono Kartodirdjo menyebutnya dengan (multidimensional approach), pendapat Kuntowijoyo sejalan dengan hal itu. Pendekatan sejarah secara tematik integratif berarti mendeskripsikan suatu insiden sejarah terkait dengan konteks kekinian, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip ilmu sejarah (kronologis). Untuk lebih mudahnya dalam menjelaskan sebuah insiden sejarah diharapkan unsur-unsur ekonomi, sosial, seni, teknologi sanggup masuk dalam penjelasannya, untuk lebih lanjut sanggup dibaca dalam buku Metodologi Sejarah.
Bila kita berbicara wacana rentang waktu yang usang yang berkesinambungan dengan kondisi ketika ini kita sanggup membaca teori Fernand Braudel, atau Le Roy Laduray, teori ini dikenal dengan sejarah total (Total History).
3. Monumen, Kronik, dan Sejarah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam makalah yang berjudul “Nasionalisme dalam Perspektif Kesejarahan Indonesia” bahwa, selama ini pelajaran sejarah telah diredusir sebagai pelajaran yang berusaha memberi pengetahuan dan pemahaman wacana dinamika perjalanan kehidupan masyarakat, tidak lagi dijadikan sebagai pengetahuan yang diperlukan, pelajaran sejarah telah diturunkan tingkatnya menjadi menjadi sekedar pengetahuan umum belaka.
Di sekolah, tidakkah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa kemudian diberitahukan dan diajarkan? Dalam kehidupan berbangsa, tidakkah tanggal-tanggal tertentu yang dianggap penting diperingati dan malah dirayakan juga?
Yang diperkenalkan itu bersama-sama tidak lebih dari “kronik” dan yang diperingati itu yaitu insiden yang telah dijadikan “monumen”, yang dibangun dengan kata-kata. Tetapi keduanya bukan atau lebih tepat, belum, bisa disebut sejarah. Jika kronik hanya mencatat “apa”, “siapa”, “bila” dan “di mana”, maka monumen yaitu tonggak peringatan untuk mengenang pristiwa yang dianggap penting dan menentukan. Jika kronik hanyalah rentetan insiden tanpa makna maka monumen yaitu insiden dalam sejarah yang telah dijadikan sebagai mnemonic device atau alat pengingat wacana suatu insiden yang secara simbolik dianggap mewakili sesuatu-baik mengenai persatuan, kemenangan atau lainnya. Tetapi insiden masa kemudian yang diwakili monumen itu tidak memperlihatkan dan memang tidak bermaksud untuk memperlihatkan adanya obrolan antara hasrat atau harapan subjektif dengan realitas objektif yang dihadapi. Monumen yaitu hasil pilihan yang bertolak dari harapan untuk mengakibatkan suatu insiden sebagai mitos integratif. Peristiwa di masa kemudian yang dipilih untuk dijadikan monumen yaitu suatu discourse (wacana) ketika sejarah sarat dengan hasrat mitologis. Dalam monumen ini gambaran-gambaran dari realitas masa kemudian dan hasrat normatif yang subjektif bisa menemukan afinitas yang akrab. Hanya saja andaikan hasrat integratif terpenuhi, kearifan dari dinamika dan sifat kesejarahan, yang berusaha mengisahkan masa lalu, dalam suasana kritis dan akademis yang sesunguhnya bisa tertinggal dengan begitu saja.
Sejarah tidak sama dengan kronik, yang merupakan daftar insiden yang dianggap penting; sejarah berbeda pula dari monumen yang menjadi alat pengingat insiden yang mempunyai nilai subjektif. Sebagai disiplin keilmuan, sejarah yaitu hasil untuk memahami masa lalu-masa yang tidak bertepi dan tidak berbatas itu. Oleh lantaran itu, sejarah gres mungkin bisa didapatkan sehabis sekian pertanyaan diajukan. Dinamika dari aspek kehidupan apakah yang ingin diketahui dalam konteks waktu dan lokasi tertentu? Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa sejarah, yang bertolak dari hasrat (pertanyaan) yang subjektif berusaha mendapat pengetahuan yang objektif wacana banyak sekali insiden yang terjadi dalam suatu rentangan waktu.
Sejarah tidak pernah tampil dalam kepolosan murni seolah-olah uraiannya hanyalah salinan saja dari apa yang disampaikan sumber wacana insiden yang terjadi di suatu ketika di lokasi tertentu. Sejarah yaitu juga hasil dari pergumulan intelektual dan akademis yang dipacu oleh hasrat subjektif yang ingin tahu wacana sesuatu secara objektif. Ilmu sejarah berusaha memahami insiden di masa kemudian itu menurut bukti dan kesaksian yang dipancarkan insiden yang menarik perhatian itu. Maka di waktu aspek-aspek kronik ( apa, siapa, di mana, dan bila) telah mendapat kepastian (historical certainty) maka cerita kesejarahan pun harus dilakukan. “Bagaimanakah hal itu terjadi?” Tetapi timbul juga problem ketika insiden itu harus direkonstruksi—“bagaimana kisahnya?”—bisakah sang sejarawan mengelak dari keharusan yang terkena pada syarat-syarat pengkisahan, narasi? Jika semua harus dikisahkan, bagaimana hal itu bisa dilakukan? Dan, tidak kurang pentingnya, bagaimanakah melakukannya tanpa didampingi kemampuan bahasa dan kejernihan retorika?
Pengkisahan sejarah tidak bisa terlepas dari kepribadian sang pengisah. Siapapun bisa menyampaikan cerita yang disampaikan sejarawan A lebih menarik dan lebih bisa dipercaya dari yang disampaikan sejarawan B. Jika hal ini saja belum cukup maka problem lainpun muncul pula. Bukankah setiap peristiwa—apapun mungkin coraknya—terjadi dalam konteks waktu, sosial dan geografis tertentu pula? Tidak ada satu insiden pun yang terjadi dalam suatu ke-vacum-an. Karena itulah setiap insiden hanya bisa direkonstruksi dan dipahami kalau struktur dari konteks tempat dan waktu terjadinya diketahui dan dimengerti pula. Meskipun berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan, insiden sejarah bisa saja mempunyai corak yang berbeda-beda—mulai dari yang bersifat politik kekuasaan hingga yang bernuansa acara kebudayaan yang estetik. Peristiwa sejarah yang bersifat politik tidak bisa direkonstruksi, apalagi dipahami dengan baik, tanpa pengetahuan dasar wacana sosiologi dan ilmu politik, bahkan juga geografi. Begitu halnya dengan sejarah ekonomi tidak bisa dipahami tanpa pemberian ilmu ekonomi yang memadai. Dan begitulah seterusnya. Karena itulah sejarah dikatakan orang juga sebagai ilmu sosial yang melihat insiden sosial dalam rentangan waktu, yang diakronis (berkesinambungan). Karena lain dari kronik, yang hanya mencantumkan insiden tanpa pengisahan yang mendalam, masa kemudian bisa terasa berbeda ketika telah disentuh oleh pengkisahan kesejarahan. Pemahaman wacana insiden terpantul dalam gaya pengisahan dan pilihan kata. Meskipun demikian, cerita sejarah—apapun gaya pengisahannya, baik dilihat sebagai suatu bencana maupun komedi atau apa saja— barulah sebagian dari keharusan sejarah. Sebab bukankah semua insiden harus diterangkan juga, “mengapa hal itu terjadi”? Ketika jawab hendak diberikan maka bukan saja pengetahuan teori wacana masyarakat dan dinamika sejarah dan sebagainya yang ikut berperan, semacam kesadaran filosofis wacana hakekat kemanusiaan tidak jarang diharapkan pula, betapapun mungkin hal ini tidak tampil secara terperinci dalam pengkisahan. Begitulah sebuah insiden harus dilihat dari konteks waktu dan ruang, serta akhir yang menyertainya, itu keberlanjutan dari tinjauan sejarah. Kaprikornus suatu insiden sebaiknya dikaji dengan banyak sekali pendekatan untuk melihat hubungan lantaran akhir itu. Perubahan yang berkelanjutan dari hubungan lantaran akhir itulah yang disebut dengan sinkronik.
Dengan pemahaman akan disiplin ilmu yang disebut sejarah menyerupai inilah pengertian yang mendalam wacana dinamika masyarakat lebih mungkin didapatkan. Dengan pendekatan menyerupai ini pula perspektif masa depan lebih mungkin bisa dibayangkan.
Sementara sejarah sebagai cerita berbentuk narasi yang bertujuan untuk memperlihatkan pemahaman pada akseptor didik. Dalam kaitannya dengan ini, sejarah sanggup diberikan untuk menanamkan sikap patriotisme, memperlihatkan semangat, keteladanan, dan ide untuk memotivasi pada akseptor didik. Dalam kurikulum 2013, pengertian sejarah lebih ditekankan pada sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagai instrumen pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks sejarah sebagai kisah, penting untuk menentukan pembabakan waktu yang dipakai sebagai pembelajaran pada siswa namun tidak keluar dari konteks sejarah sebagai ilmu. Karena itulah dalam buku siswa dipakai pra-aksara, bukan prasejarah.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sejarah di SMA/MA, SMK/MAK yaitu :
a. Pembelajaran Sejarah didasarkan atas kesinambungan apa yang terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, antara insiden sejarah tingkat nasional dan tingkat lokal, dan pemahaman insiden sejarah di tingkat lokal menurut keutuhan suatu insiden sejarah.
b. Dalam membuatkan pemahaman mengenai kesinambungan antara apa yang terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, dalam kiprah untuk setiap periode sejarah akseptor didik diarahkan semoga bisa menemukan peninggalan fisik (terutama foto-foto artefak, gambar artefak, atau menciptakan denah daerah bersejarah) dan peninggalan aneh (tradisi, pikiran, pandangan hidup, nilai, kebiasaan) di masyarakat yang diwarisi dari insiden sejarah pada suatu periode.
c. Dalam membuatkan keterkaitan antara insiden sejarah di tingkat nasional dan tingkat lokal, dalam kiprah setiap akseptor didik diarahkan untuk mengkaji insiden sejarah di daerahnya, semenjak masa praakasara hingga masa Islam dan menciptakan analisis mengenai keterkaitan dan sumbangan insiden tersebut terhadap insiden yang terjadi di tingkat nasional.
d. Mengembangkan proses pembelajaran dalam kemampuan dan keterampilan di semester awal (pertama dan kedua) sehingga akseptor didik memahami konsep-konsep utama sejarah, menguasai keterampilan dasar sejarah, dan memantapkan penggunaan konsep utama dan keterampilan dasar ketika mereka mempelajari banyak sekali insiden sejarah di semester- semester berikutnya (semester ketiga – keenam);
e. Setiap insiden sejarah dirancang sebagai acara pembelajaran satu semester dan bukan acara satu pokok bahasan. Untuk itu maka akseptor didik secara kelompok atau individual sanggup menentukan mempelajari satu atau lebih insiden sejarah secara mendalam. Hasil pendalaman tersebut dipaparkan di depan kelas sehingga akseptor didik lain mempunyai pengetahuan dan pemahaman insiden sejarah lainnya secara garis besar menurut laporan kelas akseptor didik;
f. Proses pembelajaran sejarah memberi kesempatan kepada akseptor didik untuk memakai banyak sekali sumber menyerupai buku teks, buku referensi, dokumen, narasumber, atau pun artefak serta memberi kesempatan yang luas untuk menghasilkan “her or his own histories” (Borries, 2000);
g. Peserta didik diberi kebebasan dalam menentukan insiden sejarah nasional dan insiden sejarah daerah (sejarah lokal) yang terkait dengan yang dibahas. Sejak awal tahun, guru sejarah di suatu SMA/MA, SMK/MAK sudah harus menentukan berapa banyak insiden sejarah tingkat nasional dan tingkat daerah yang harus dipelajari akseptor didik dalam satu rancangan keseluruhan pendidikan sejarah.
h. Dalam buku pegangan guru, dalam tujuan pembelajaran diminta untuk memperlihatkan pola konsep berpikir diakronis dan sinkronis dalam menulis sejarah. Cara berpikir diakronis yaitu, melihat suatu insiden sejarah disebabkan oleh banyak sekali sebab, pola keruntuhan kerajaan Majapahit disebabkan oleh banyak sekali faktor, antara lain politik, ekonomi, dan masuknya imbas budaya baru. Cara berpikir sinkronis yaitu, melihat suatu insiden sejarah itu unik dan kronologis.
Tujuan
Mata pelajaran Sejarah Indonesia bertujuan semoga akseptor didik mempunyai kemampuan sebagai berikut :
a. Membangun kesadaran akseptor didik wacana pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) yang menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif.
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan akseptor didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d. Menumbuhkan pemahaman akseptor didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa sekarang dan masa yang akan datang.
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri akseptor didik sebagai penggalan dari bangsa Indonesia yang mempunyai rasa besar hati dan cinta tanah air, melahirkan tenggang rasa dan sikap toleran yang sanggup diimplementasikan dalam banyak sekali bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.
f. Mengembangkan sikap yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa.
g. Menanamkan sikap berorientasi kepada masa sekarang dan masa depan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada mata pelajaran Sejarah Indonesia kelas x membahas materi dari zaman berikut ini.
a. Masa pra-aksara;
b. Hindu-Buddha;
c. Kerajaan-kerajaan Islam.
a. Semua wilayah/daerah mempunyai bantuan terhadap perjalanan Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah;
b. Pemahaman wacana masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun semangat kebangsaan dan persatuan;
c. Setiap periode Sejarah Indonesia mempunyai insiden dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah serta keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia;
d. Tugas dan tanggung jawab untuk memperkenalkan insiden sejarah yang penting dan terjadi di seluruh wilayah NKRI serta seluruh periode sejarah kepada generasi muda bangsa;
e. Pengembangan cara berpikir sejarah (historical thinking), konsep waktu, ruang, perubahan, dan keberlanjutan menjadi keterampilan dasar dalam mempelajari Sejarah Indonesia.
Pengertian
a. Ilmu Sejarah
Sejarah diartikan secara sederhana sebagai ilmu wacana asal undangan dan perkembangan insiden yang telah terjadi. Menurut Taufik Abdullah sejarah sanggup dilihat dalam beberapa sisi, yaitu sejarah sanggup dipakai sebagai nasehat contohnya dengan mengutip kata-kata Sukarno “jangan sekali-sekali melupakan sejarah” ini berarti sejarah yaitu sebuah kearifan yang sanggup membimbing kita dalam mengarungi hidup ketika ini dan merintis hari depan. Sejarah sanggup juga dimaknai sebagai “guru” menyerupai “....sejarah telah mengajarkan pada kita bahwa....”. Dalam bidang filsafat, Hegel menyampaikan bahwa “sejarah yaitu proses ke arah cita kemanusian yang tertinggi”.
Kemudian bagaimanakah sejarah sebagai ilmu? Sejarah sebagai Disiplin Ilmu sanggup dilihat sebagai berikut:
1. Perhatian utama sejarah yaitu masa lalu. Selanjutnya masa kemudian barulah diangap ada, sebagai sasaran kajian, kalau terdapat bekas dan bukti yang bisa diteliti.
a. Kajian sejarah hanya akan memperhatikan insiden yang menyangkut eksklusif sikap insan di masa lalu. Gempa bumi, banjir, komet yang jatuh ke bumi, gerhana matahari dan sekian macam insiden berada di luar khusus perhatian ilmu sejarah. Hal ini termasuk natural history. Semua insiden alam itu barulah dianggap penting kalau eksklusif berkaitan dengan pola sikap insan (seperti perjuangan insan menanggulangi banjir, kepercayaan wacana makna gerhana), atau eksklusif mengubah nasib manusia. Contohnya meletusnya gunung Vesuvius di zaman Eropa Kuno yang menenggalamkan Kota Pompei, meletusnya Gunung Tambora di kala ke-9 yang melenyapkan dua kerajaan di Pulau Sumbawa.
b. Secara metodologis dan teknis, sejarah umat insan dibagi atas dua zaman: zaman sejarah dan zaman pra-aksara. Manusia memasuki zaman sejarah bila zaman itu menghasilkan bukti-bukti tertulis. Disebut zaman pra-aksara lantaran hanya meninggalkan bekas-bekas tak tertulis, menyerupai fosil, alat-alat, dan lukisan batu.
c. Secara metodologis dan teknis pula, sumber tertulis di atas kertas atau yang didapatkan secara ekspresi menjadi sasaran penelitian calon sejarawan. Tulisan renta dan kuno dan tertulis dalam bahasa arkais yang terpahat di batu, lempengan tembaga, dan sebagainya diselenggarakan oleh ilmu arkeologi dengan segala cabangnya.
d. Apakah semua tindakan insan di masa lampau yang tertentu itu harus masuk rekonstruksi sejarah? Konsep “sejarah total” hanya bertolak dari sikap yang mengharuskan sejarawan untuk memperhitungkan semua dimensi kehidupan sosial dalam perjuangan merekonstruksi insiden sejarah.
2. Corak penulisan sejarah dibedakan menjadi dua:
a. Penulisan sejarah umum, yang menguraikan perkembangan sejarah dari suatu bangsa atau suatu wilayah dan bahkan suatu lokalitas dari zaman ke zaman menyerupai “Sejarah Indonesia” atau “Sejarah Eropa” atau “Jakarta di Abad ke-20”.
b. Penulisan sejarah khusus, yang ditentukan oleh tema tertentu. Corak sejarah ini disebut juga sejarah tematis. Corak penulisan sejarah menyerupai ini umpamanya ialah “Budaya Kuliner Zaman Kolonial”, “Reformasi Agraria di Awal Abad Ke-20”, “Pertempuran Lima Hari di Semarang” dan sebagainya. Dengan kata lain, judul-judul ini hanya tertarik pada aspek tertentu atau insiden tertentu saja; kuliner, gerakan keagamaan, dan pertempuran yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Bila kita ingin mempelajari sejarah ekonomi maka perlu kita membaca buku karya Anne Booth.
Ini yang dimaksud dengan pendekatan tematik integratif, Sartono Kartodirdjo menyebutnya dengan (multidimensional approach), pendapat Kuntowijoyo sejalan dengan hal itu. Pendekatan sejarah secara tematik integratif berarti mendeskripsikan suatu insiden sejarah terkait dengan konteks kekinian, dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip ilmu sejarah (kronologis). Untuk lebih mudahnya dalam menjelaskan sebuah insiden sejarah diharapkan unsur-unsur ekonomi, sosial, seni, teknologi sanggup masuk dalam penjelasannya, untuk lebih lanjut sanggup dibaca dalam buku Metodologi Sejarah.
Bila kita berbicara wacana rentang waktu yang usang yang berkesinambungan dengan kondisi ketika ini kita sanggup membaca teori Fernand Braudel, atau Le Roy Laduray, teori ini dikenal dengan sejarah total (Total History).
3. Monumen, Kronik, dan Sejarah
Sebagaimana yang disampaikan oleh Taufik Abdullah dalam makalah yang berjudul “Nasionalisme dalam Perspektif Kesejarahan Indonesia” bahwa, selama ini pelajaran sejarah telah diredusir sebagai pelajaran yang berusaha memberi pengetahuan dan pemahaman wacana dinamika perjalanan kehidupan masyarakat, tidak lagi dijadikan sebagai pengetahuan yang diperlukan, pelajaran sejarah telah diturunkan tingkatnya menjadi menjadi sekedar pengetahuan umum belaka.
Di sekolah, tidakkah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa kemudian diberitahukan dan diajarkan? Dalam kehidupan berbangsa, tidakkah tanggal-tanggal tertentu yang dianggap penting diperingati dan malah dirayakan juga?
Yang diperkenalkan itu bersama-sama tidak lebih dari “kronik” dan yang diperingati itu yaitu insiden yang telah dijadikan “monumen”, yang dibangun dengan kata-kata. Tetapi keduanya bukan atau lebih tepat, belum, bisa disebut sejarah. Jika kronik hanya mencatat “apa”, “siapa”, “bila” dan “di mana”, maka monumen yaitu tonggak peringatan untuk mengenang pristiwa yang dianggap penting dan menentukan. Jika kronik hanyalah rentetan insiden tanpa makna maka monumen yaitu insiden dalam sejarah yang telah dijadikan sebagai mnemonic device atau alat pengingat wacana suatu insiden yang secara simbolik dianggap mewakili sesuatu-baik mengenai persatuan, kemenangan atau lainnya. Tetapi insiden masa kemudian yang diwakili monumen itu tidak memperlihatkan dan memang tidak bermaksud untuk memperlihatkan adanya obrolan antara hasrat atau harapan subjektif dengan realitas objektif yang dihadapi. Monumen yaitu hasil pilihan yang bertolak dari harapan untuk mengakibatkan suatu insiden sebagai mitos integratif. Peristiwa di masa kemudian yang dipilih untuk dijadikan monumen yaitu suatu discourse (wacana) ketika sejarah sarat dengan hasrat mitologis. Dalam monumen ini gambaran-gambaran dari realitas masa kemudian dan hasrat normatif yang subjektif bisa menemukan afinitas yang akrab. Hanya saja andaikan hasrat integratif terpenuhi, kearifan dari dinamika dan sifat kesejarahan, yang berusaha mengisahkan masa lalu, dalam suasana kritis dan akademis yang sesunguhnya bisa tertinggal dengan begitu saja.
Sejarah tidak sama dengan kronik, yang merupakan daftar insiden yang dianggap penting; sejarah berbeda pula dari monumen yang menjadi alat pengingat insiden yang mempunyai nilai subjektif. Sebagai disiplin keilmuan, sejarah yaitu hasil untuk memahami masa lalu-masa yang tidak bertepi dan tidak berbatas itu. Oleh lantaran itu, sejarah gres mungkin bisa didapatkan sehabis sekian pertanyaan diajukan. Dinamika dari aspek kehidupan apakah yang ingin diketahui dalam konteks waktu dan lokasi tertentu? Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa sejarah, yang bertolak dari hasrat (pertanyaan) yang subjektif berusaha mendapat pengetahuan yang objektif wacana banyak sekali insiden yang terjadi dalam suatu rentangan waktu.
Sejarah tidak pernah tampil dalam kepolosan murni seolah-olah uraiannya hanyalah salinan saja dari apa yang disampaikan sumber wacana insiden yang terjadi di suatu ketika di lokasi tertentu. Sejarah yaitu juga hasil dari pergumulan intelektual dan akademis yang dipacu oleh hasrat subjektif yang ingin tahu wacana sesuatu secara objektif. Ilmu sejarah berusaha memahami insiden di masa kemudian itu menurut bukti dan kesaksian yang dipancarkan insiden yang menarik perhatian itu. Maka di waktu aspek-aspek kronik ( apa, siapa, di mana, dan bila) telah mendapat kepastian (historical certainty) maka cerita kesejarahan pun harus dilakukan. “Bagaimanakah hal itu terjadi?” Tetapi timbul juga problem ketika insiden itu harus direkonstruksi—“bagaimana kisahnya?”—bisakah sang sejarawan mengelak dari keharusan yang terkena pada syarat-syarat pengkisahan, narasi? Jika semua harus dikisahkan, bagaimana hal itu bisa dilakukan? Dan, tidak kurang pentingnya, bagaimanakah melakukannya tanpa didampingi kemampuan bahasa dan kejernihan retorika?
Pengkisahan sejarah tidak bisa terlepas dari kepribadian sang pengisah. Siapapun bisa menyampaikan cerita yang disampaikan sejarawan A lebih menarik dan lebih bisa dipercaya dari yang disampaikan sejarawan B. Jika hal ini saja belum cukup maka problem lainpun muncul pula. Bukankah setiap peristiwa—apapun mungkin coraknya—terjadi dalam konteks waktu, sosial dan geografis tertentu pula? Tidak ada satu insiden pun yang terjadi dalam suatu ke-vacum-an. Karena itulah setiap insiden hanya bisa direkonstruksi dan dipahami kalau struktur dari konteks tempat dan waktu terjadinya diketahui dan dimengerti pula. Meskipun berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan, insiden sejarah bisa saja mempunyai corak yang berbeda-beda—mulai dari yang bersifat politik kekuasaan hingga yang bernuansa acara kebudayaan yang estetik. Peristiwa sejarah yang bersifat politik tidak bisa direkonstruksi, apalagi dipahami dengan baik, tanpa pengetahuan dasar wacana sosiologi dan ilmu politik, bahkan juga geografi. Begitu halnya dengan sejarah ekonomi tidak bisa dipahami tanpa pemberian ilmu ekonomi yang memadai. Dan begitulah seterusnya. Karena itulah sejarah dikatakan orang juga sebagai ilmu sosial yang melihat insiden sosial dalam rentangan waktu, yang diakronis (berkesinambungan). Karena lain dari kronik, yang hanya mencantumkan insiden tanpa pengisahan yang mendalam, masa kemudian bisa terasa berbeda ketika telah disentuh oleh pengkisahan kesejarahan. Pemahaman wacana insiden terpantul dalam gaya pengisahan dan pilihan kata. Meskipun demikian, cerita sejarah—apapun gaya pengisahannya, baik dilihat sebagai suatu bencana maupun komedi atau apa saja— barulah sebagian dari keharusan sejarah. Sebab bukankah semua insiden harus diterangkan juga, “mengapa hal itu terjadi”? Ketika jawab hendak diberikan maka bukan saja pengetahuan teori wacana masyarakat dan dinamika sejarah dan sebagainya yang ikut berperan, semacam kesadaran filosofis wacana hakekat kemanusiaan tidak jarang diharapkan pula, betapapun mungkin hal ini tidak tampil secara terperinci dalam pengkisahan. Begitulah sebuah insiden harus dilihat dari konteks waktu dan ruang, serta akhir yang menyertainya, itu keberlanjutan dari tinjauan sejarah. Kaprikornus suatu insiden sebaiknya dikaji dengan banyak sekali pendekatan untuk melihat hubungan lantaran akhir itu. Perubahan yang berkelanjutan dari hubungan lantaran akhir itulah yang disebut dengan sinkronik.
Dengan pemahaman akan disiplin ilmu yang disebut sejarah menyerupai inilah pengertian yang mendalam wacana dinamika masyarakat lebih mungkin didapatkan. Dengan pendekatan menyerupai ini pula perspektif masa depan lebih mungkin bisa dibayangkan.
Sementara sejarah sebagai cerita berbentuk narasi yang bertujuan untuk memperlihatkan pemahaman pada akseptor didik. Dalam kaitannya dengan ini, sejarah sanggup diberikan untuk menanamkan sikap patriotisme, memperlihatkan semangat, keteladanan, dan ide untuk memotivasi pada akseptor didik. Dalam kurikulum 2013, pengertian sejarah lebih ditekankan pada sejarah sebagai kisah, yaitu sejarah sebagai instrumen pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks sejarah sebagai kisah, penting untuk menentukan pembabakan waktu yang dipakai sebagai pembelajaran pada siswa namun tidak keluar dari konteks sejarah sebagai ilmu. Karena itulah dalam buku siswa dipakai pra-aksara, bukan prasejarah.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sejarah di SMA/MA, SMK/MAK yaitu :
a. Pembelajaran Sejarah didasarkan atas kesinambungan apa yang terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, antara insiden sejarah tingkat nasional dan tingkat lokal, dan pemahaman insiden sejarah di tingkat lokal menurut keutuhan suatu insiden sejarah.
b. Dalam membuatkan pemahaman mengenai kesinambungan antara apa yang terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, dalam kiprah untuk setiap periode sejarah akseptor didik diarahkan semoga bisa menemukan peninggalan fisik (terutama foto-foto artefak, gambar artefak, atau menciptakan denah daerah bersejarah) dan peninggalan aneh (tradisi, pikiran, pandangan hidup, nilai, kebiasaan) di masyarakat yang diwarisi dari insiden sejarah pada suatu periode.
c. Dalam membuatkan keterkaitan antara insiden sejarah di tingkat nasional dan tingkat lokal, dalam kiprah setiap akseptor didik diarahkan untuk mengkaji insiden sejarah di daerahnya, semenjak masa praakasara hingga masa Islam dan menciptakan analisis mengenai keterkaitan dan sumbangan insiden tersebut terhadap insiden yang terjadi di tingkat nasional.
d. Mengembangkan proses pembelajaran dalam kemampuan dan keterampilan di semester awal (pertama dan kedua) sehingga akseptor didik memahami konsep-konsep utama sejarah, menguasai keterampilan dasar sejarah, dan memantapkan penggunaan konsep utama dan keterampilan dasar ketika mereka mempelajari banyak sekali insiden sejarah di semester- semester berikutnya (semester ketiga – keenam);
e. Setiap insiden sejarah dirancang sebagai acara pembelajaran satu semester dan bukan acara satu pokok bahasan. Untuk itu maka akseptor didik secara kelompok atau individual sanggup menentukan mempelajari satu atau lebih insiden sejarah secara mendalam. Hasil pendalaman tersebut dipaparkan di depan kelas sehingga akseptor didik lain mempunyai pengetahuan dan pemahaman insiden sejarah lainnya secara garis besar menurut laporan kelas akseptor didik;
f. Proses pembelajaran sejarah memberi kesempatan kepada akseptor didik untuk memakai banyak sekali sumber menyerupai buku teks, buku referensi, dokumen, narasumber, atau pun artefak serta memberi kesempatan yang luas untuk menghasilkan “her or his own histories” (Borries, 2000);
g. Peserta didik diberi kebebasan dalam menentukan insiden sejarah nasional dan insiden sejarah daerah (sejarah lokal) yang terkait dengan yang dibahas. Sejak awal tahun, guru sejarah di suatu SMA/MA, SMK/MAK sudah harus menentukan berapa banyak insiden sejarah tingkat nasional dan tingkat daerah yang harus dipelajari akseptor didik dalam satu rancangan keseluruhan pendidikan sejarah.
h. Dalam buku pegangan guru, dalam tujuan pembelajaran diminta untuk memperlihatkan pola konsep berpikir diakronis dan sinkronis dalam menulis sejarah. Cara berpikir diakronis yaitu, melihat suatu insiden sejarah disebabkan oleh banyak sekali sebab, pola keruntuhan kerajaan Majapahit disebabkan oleh banyak sekali faktor, antara lain politik, ekonomi, dan masuknya imbas budaya baru. Cara berpikir sinkronis yaitu, melihat suatu insiden sejarah itu unik dan kronologis.
Tujuan
Mata pelajaran Sejarah Indonesia bertujuan semoga akseptor didik mempunyai kemampuan sebagai berikut :
a. Membangun kesadaran akseptor didik wacana pentingnya konsep waktu dan tempat/ruang dalam rangka memahami perubahan dan keberlanjutan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia.
b. Mengembangkan kemampuan berpikir historis (historical thinking) yang menjadi dasar untuk kemampuan berpikir logis, kreatif, inspiratif, dan inovatif.
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan akseptor didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d. Menumbuhkan pemahaman akseptor didik terhadap diri sendiri, masyarakat, dan proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa sekarang dan masa yang akan datang.
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri akseptor didik sebagai penggalan dari bangsa Indonesia yang mempunyai rasa besar hati dan cinta tanah air, melahirkan tenggang rasa dan sikap toleran yang sanggup diimplementasikan dalam banyak sekali bidang kehidupan masyarakat dan bangsa.
f. Mengembangkan sikap yang didasarkan pada nilai dan moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa.
g. Menanamkan sikap berorientasi kepada masa sekarang dan masa depan.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup pada mata pelajaran Sejarah Indonesia kelas x membahas materi dari zaman berikut ini.
a. Masa pra-aksara;
b. Hindu-Buddha;
c. Kerajaan-kerajaan Islam.
Dari materi ini akan disajikan dalam tiga bab. Bab I, Menelusuri Peradaban Awal di Kepulauan Indonesia ; Bab II, Pedagang, Penguasa, dan Pujangga Pada Masa Klasik (Hindu-Buddha); Bab III, Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara.
Download Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013ini silahkan lihat dan unduh pada link di bawah ini:Buku Sejarah Indonesia untuk Guru Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013
Download File:
Buku Sejarah Indonesia untuk Guru Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013.pdf
Buku Sejarah Indonesia untuk Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013.pdf
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Buku Sejarah Indonesia untuk Guru dan Siswa Kelas 10 Sekolah Menengan Atas MA Sekolah Menengah kejuruan MAK Kurikulum 2013. Semoga bisa bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Buku Sejarah Indonesia Untuk Guru Dan Siswa Kelas 10 Sma Ma Smk Mak Kurikulum 2013"