Kesultanan Palembang Darussalam
Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada kurun ke-12. Kerajaan Sriwijaya runtuh akhir dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Ketika Sriwijaya runtuh sebagai sentra niaga, maka lahirlah suatu tempat atau kota yang dalam ejaan China disebut dengan sebutan Palinfong (yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kota Palembang). Sepeninggalan Sriwijaya, kota ini tetap eksis sebagai kota niaga yang di dalamnya masih terdapat suatu rujukan acara ekonomi dan perdagangan yang masih dikenal sebagai Ku-kang (dalam bahasa China) atau Pelabuhan Lama. Kota Palembang menjadi rujukan pelabuhan internasional yang secara khusus banyak disinggahi pedagang-pedagang dari China. Bahkan, kota ini pernah menjadi enclave (daerah kantong) China selama kurang lebih 200 tahun.
Ketika Kota Palembang berada dalam kontrol ekonomi para pedagang China, Pangeran Palembang, Parameswara, terpaksa meninggalkan kota ini pada tahun 1397. Pada ketika itu, Kerajaan Majapahit juga tidak bisa menempatkan adipatinya di kota ini lantaran China telah menentukan Liang Tau Ming sebagai pemimpin Palembang. Sayangnya, pada masa kekuasaan China, Palembang pernah menjadi sarang para bajak maritim China yang mengakibatkan permasalahan akut di kota ini.
Sebelum Kesultanan Palembang Darussalam sebagai kesultanan yang lebih bercorak Melayu ini berdiri, bekerjsama sudah ada Kerajaan Palembang terlebih dahulu (sebagai cikal bakal nantinya). Sebelum Kerajaan Palembang (Palembang Lama) berdiri, Kota Palembang sudah ada terlebih dahulu sebagai salah suatu wilayah kekuasaan Majapahit pada ketika itu. Tulisan di bawah ini akan mengulas sejarah Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam secara terpisah.
a. Sejarah Kerajaan Palembang
Kerajaan Palembang berdiri sekitar kurun ke-15. Ario Damar merupakan pendiri kerajaan ini. Ia bekerjsama mewakili Kerajaan Majapahit di Palembang Lamo (atau nantinya disebut Kerajaan Palembang), dengan gelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455 sampai tahun 1486. Ketika ia tiba ke Palembang, rakyat dan penduduk di tempat ini bekerjsama sudah masuk Islam. Diperkirakan, ia karenanya ikut memeluk Islam dengan mengubah namanya menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (dalam bahasa Jawa, dillah berarti lampu). Ario Dillah pernah mendapat hadiah dari Prabu Kertabumi Brawijaya V, yaitu diberikan salah seorang selirnya yang berketurunan China dan telah memeluk Islam, yang berjulukan Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Lahirlah kemudian seseorang berjulukan Raden Fatah di istana Ario Dillah yang dulu dinamakan Candi Ing Laras. Raden Fatah kemudian dididik oleh Ario Dillah dengan pengetahuan Islam yang kemudian mengantarkan dirinya sebagai ulama besar. Anak kandung Ario Dillah sendiri yang merupakan hasil perkawinan dengan Puteri Champa yaitu Raden Kusen. Jadi, Raden Fatah yaitu saudara lain bapak dengan Raden Kusen. Setelah Ario Dillah wafat, kekuasaan Kerajaan Palembang sempat kosong sampai tahun 1486. Hal itu terjadi lantaran Palembang termasuk dalam kekuasaan Majapahit. Banyak keturunan Ario Dillah, termasuk Raden Fatah yang kemudian hijrah ke Demak. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana kemudian eksistensi Kerajaan Palembang kembali berdiri sesudah Kerajaan Demak hancur.
Tidak ada sumber tertulis resmi yang sanggup menyebutkan kapan Kerajaan Majapahit hancur. Majapahit diperkirakan runtuh pada tahun 1478 akhir serangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada ketika itu, Sunan Ampel menunjuk Raden Fatah sebagai penguasa seluruh tanah Jawa. Pusat kekuasaan kemudian dipindahkan ke Demak. Pada tahun 1481, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam Demak. Pendirian kerajaan tersebut juga mendapat tunjangan dari daerah-daerah lainnya yang telah lepas dari Majapahit, menyerupai Jepara, Tuban, dan Gresik. Kerajaan Demak pernah menjadi sentra niaga pada kurun ke-15. Raden Fatah mendapat gelar Senapati Jimbun Ngabdu‘r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata‘Gama. Ia wafat pada tahun 1518, dan digantikan puteranya, yaitu Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor.
Setelah Pangeran Sabrang Lor wafat pada tahun 1521, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh saudaranya, yaitu Pangeran Trenggono sampai tahun 1546. Setelah itu, di Kerajaan Demak terjadi kudeta antara saudara Pangeran Trenggono (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan terjadi pertumpahan darah antar saudara. Pangeran Seda ing Lepen dibunuh oleh Pangeran Prawata. Sebagai buntut dari bencana ini, Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang berjulukan Arya Penangsang atau Arya Jipang. Menantu Raden Trenggono yang berjulukan Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Pertumpahan tidak berhenti di sini, bahkan masih berlanjut. Pada tahun 1549, Arya Penangsang dibunuh oleh Adiwijaya yang juga seorang menantu dari Pangeran Trenggono atau populer dengan sebutan Jaka Tingkir yang ketika itu menjabat Adipati Kerajaan Pajang. Pada masa Jaka Tingkir ini, Keraton Demak dipindahkan ke Pajang akhir serangan Kerajaan Pajang. Perpindahan ini sebagai mengambarkan berakhirnya kekuasaan Kerajaan Demak yang berdiri semenjak tahun 1481 sampai tahun 1546.
Ketika Kerajaan Pajang menyerang Demak, terdapat sekitar 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau juga keturunan Raden Fatah) berhijrah ke Palembang yang dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan. Pada tahun 1547, Ki Gede Sedo Ing Lautan menempati posisi Kerajaan Palembang yang telah usang vakum sebagai raja ke-2. Ia berkuasa sampai tahun 1552. Salah seorang suro (perwira) Kerajaan Demak berjulukan Ki Gede Ing Suro yang juga ikut dalam rombongan Ki Gede Sedo Ing Lautan kemudian menjadi raja ke-3 di Kerajaan Palembang (1552-1573). Meski sudah hijrah ke luar Jawa, ia dan para keturunannya masih mempunyai ikatan ideologis dengan sentra keraton di Jawa sampai zaman Mataram. Setelah Jaka Tingkir wafat, Kerajaan Pajang kemudian dipimpin oleh Arya Pangiri. Pada masa kepemimpinannya, terjadi pergolakan politik yang amat pelik. Ia diserang oleh kekuatan massal yang terdiri dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Arya Pangiri kemudian sanggup dikalahkan oleh Senapati Mataram, yang mengakibatkan terjadinya pemindahan Keraton Pajang ke Mataram pada tahun 1587. Tahun ini dikenal sebagai awal berdirinya Kerajaan Mataram. Pangeran Mataram merupakan keturunan dari Raden Fatah dan Raden Trenggono. Adanya pertalian darah inilah yang mengakibatkan terjadinya korelasi yang baik antara Kerajaan Palembang dan Kerajaan Mataram pada ketika itu. Hubungan tersebut masih terjalin bersahabat sampai masa kekuasaan Raja Amangkurat I (raja ke-4). Di samping itu, korelasi kedua kerajaan tersebut juga dalam bentuk kerjasama. Hingga tamat tahun 1677, Kerajaan Palembang masih setia kepada Kerajaan Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan Kerajaan Banten yang telah dilakukan semenjak tahun 1596. Pada tahun 1610, Kerajaan Palembang pernah melaksanakan kontak dengan VOC. Awalnya, VOC enggan bekerjasama dengan Kerajaan Palembang. Bahkan, semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan, telah dibuka Kantor Perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang, yaitu melalui mediator Gubernur Jendral di Batavia, Jacob Specx (1629-1632). Namun, pada tahun 1659, Keraton Kuta Gawang beserta benteng-bentengnya hancur akhir diserbu oleh VOC.
Hancurnya keraton tersebut sebagai mengambarkan berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang. Kehancuran tersebut kuat pada pemindahan keraton dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan istilah Beringin Janggut. Keraton Kuta Gawang sekarang berada di kompleks PT. Pusri, Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Dari bentuknya, keraton ini menandai adanya akulturasi kebudayaan antara budaya Jawa dan Melayu, yang kemudian disebut dengan kebudayaan Palembang. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Palembang yang mempunyai kepribadian sendiri dan mencicipi hak kemerdekaan sendiri pula, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam.
b. Sejarah Kesultanan Palembang Darusalam
Pada tahun 1659, di Palembang juga berdiri sebuah kesultanan yang mempunyai corak tersendiri dan berbeda dengan Kerajaan Palembang sebelumnya, yaitu Kesultanan Palembang Darussalam. Pendiri kesultanan ini yaitu Sultan Jamaluddin atau dikenal dengan sebutan Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman, yang pada masa tamat hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang. Sejarah kekuasaan dirinya beserta sultan-sultan setelahnya akan dibahas tersendiri dalam cuilan periode pemerintahan.
2. Silsilah
Silsilah berikut ini akan dibagi berdasarkan dua bentuk periodeisasi, yaitu periode Kerajaan Palembang (sebagai cikal bakal Kesultanan Palembang) dan periode Kesultanan Palembang Darussalam itu sendiri.
a. Periode Kerajaan Palembang:
- Ario Abdillah (Ario Dila, sebelumnya berjulukan Ario Damar) (1455-1486)
- Pangeran Sedo Ing Lautan (1547-1552)
- Kiai Gede Ing Suro Tuo (1552-1573)
- Kiai Gede Ing Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati Ing Suro) (1573-1590)
- Kiai Mas Adipati (1590-1595)
- Pangeran Madi Ing Angsoko (1595-1629)
- Pangeran Madi Alit (1629-1630)
- Pangeran Sedo Ing Puro (1630-1639)
- Pangeran Sedo Ing Kenayan (1639-1650)
- Pangeran Sedo Ing Pesarean (1651-1652)
- Pangeran Sedo Ing Rajek (1652-1659)
b. Periode Kesultanan Palembang Darussalam:
- Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1706)
- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714)
- Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1714-1724)
- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1758)
- Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758-1776)
- Sultan Muhammad Bahaudin (1776-1804)
- Sultan Mahmud Badaruddin II (1804-1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin II atau Husin Dhiauddin (1813-1817)
- Sultan Ahmad Najamuddin III atau Pangeran Ratu (1819-1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin IIV atau Prabu Anom (1821-1823)
- Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-...)
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan Palembang Darussalam berdiri selama hampir dua abad, yaitu semenjak tahun 1659 sampai tahun 1825. Sebelum kesultanan ini berdiri bekerjsama telah ada terlebih dahulu Kerajaan Palembang yang merupakan cikal bakal berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Bedanya dengan Kerajaan Palembang, Kesultanan Palembang Darussalam lebih bercorak Islam lantaran menerapkan syariat Islam serta menjadikan al-Quran dan hadits sebagai konstitusi pemerintahan.
Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman atau disebut dengan Sunan Cinde Walang yaitu raja pertama di Kesultanan Palembang Darussalam. Ia memerintah selama 45 tahun. Dengan masa kekuasaan yang begitu panjang, ia telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat di kesultanan ini. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di tempat pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap tempat yang masuk dalam efek kekuasaan Palembang, menyerupai Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lapung (Tulang Bawang/Mesuji).
Sunan Cinde Walang pernah melaksanakan aliansi internasional antara Palembang, Jambi, dan Johor. Aliansi ini hanya bersifat insidentil dan situasional. Namun, aliansi ini kadang justru menimbulkan konflik di antara mereka sendiri lantaran adanya perbedaan kepentingan. Dalam bidang pertanian, ia mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk membuatkan tanaman lada. Ia juga menciptakan sistem perairan yang dibentuk antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja dipakai untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan. Setelah Sunan Cinde Walang meninggal pada tahun 1706, tahta kekuasaan kesultanan kemudian dipegang oleh putranya yang bernamanya Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714). Ia merupakan sultan yang dikenal gagah berani dan banyak menuntaskan permasalahan dengan senjata. Akibatnya, Kesultanan Palembang pernah kehilangan salah satu tempat kekuasaannya, yaitu Muara Tembesi di Jambi. Ketika Jayo Ing Lago tidak lagi berkuasa, terjadi kemelut politik pada ketika itu perihal siapa yang pantas menggantikannya. Pangeran Purbaya, yang seharusnya menggantikan Jayo Ing Lago meninggal lantaran diracun. Tahta kekuasaan kemudian dipegang adik Jayo Ing Lago, Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno (1714-1724). Putra-putra Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Mangkubumi Mohamad Ali menolak keputusan tersebut dengan melaksanakan pemberontakan.
Sultan Agung Komaruddin kemudian berinisiatif untuk berdamai dengan kedua keponakannya tersebut dengan cara mengangkat Pangeran Mangkubumi Mohamad Ali sebagai Sultan Anom Muhamad Alimudin dan Raden Lembu sebagai Pangeran Jayo Wirakmo. Tetap saja keputusan tersebut belum sanggup memuaskan kedua belah pihak lantaran ternyata Pangeran Jayo Wikramo lebih diuntungkan dengan mendapat putri Sultan Agung Komaruddin sebagai pasangannya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik antar saudara. Pangeran Jayo Wirakmo memenangkan peperangan tersebut yang mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1758).
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin I) merupakan sosok pemimpin yang berwawasan luas dan mempunyai pengalaman yang amat memadai. Ia pernah mengagas pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengintrodusir pengetahuan dan teknologi yang baru, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah usang mapan. Ia telah melaksanakan perubahan dan pembangunan Kesultanan Palembang ke arah yang lebih maju. Di antara bentuk bangunan fisik yang didirikan pada masanya, yaitu: Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, tambang timah Bangka, terusan-terusan di pedalaman. Ia juga membuatkan sistem perdagangan dan ekonomi Kesultanan Palembang ke arah yang lebih maju. Pada masanya syiar dan dakwah keagamaan Islam mulai berkembang pesat. Maka, tidak asing jikalau dikatakan bahwa banyak ulama di Nusantara yang berasal dari wilayah Kesultanan Palembang ini. Setelah Sultan Badaruddin I meninggal, tahta kekuasaan kesultanan kemudian dipegang oleh Sultan Ahmad Najamuddin (1758-1776). Tidak banyak data yang membincang sejarah kepemimpinan sultan ini. Namun, yang niscaya bahwa ia lebih banyak membuatkan perkembangan Islam dan pedoman perihal kesusasteraan. Setelah ia meninggal, tahta kekuasaan kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1804).
Masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin juga dikenal sebagai periode pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian kesultanan meningkat tajam lantaran sultan sangat menguasai teknik bagaimana caranya berdagang yang bagus, termasuk berdagang dengan VOC. Bahkan, VOC merasa kesal dengan monopoli perdagangan Sultan Bahauddin yang mengakibatkan kontrak-kontrak mereka sering ditolaknya. Ternyata, Sultan Bahauddin lebih suka berdagang dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau. Dampak dari kebijakan menyerupai ini justru menghasilkan kekayaan yang sangat besar bagi kekuangan kesultanan. Sehingga, kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam meningkat tajam.
Bentuk-bentuk dari kemakmuran tersebut sanggup dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan bersejarah yang bernilai sangat penting. Pada tahun 1780, Sultan Bahauddin pernah membangun Keraton Kuto Besak yang boleh dianggap sebagai keraton terbesar dan terindah di Nusantara. Bentuk kemakmuran kesultanan juga berupa berkembangnya bidang kesenian dan kesusasteraan pada ketika itu. Dalam kurun waktu 1750-1800, Kesultanan Palembang Darussalam pernah menjadi sentra sastra Melayu sesudah Kesultanan Aceh yang menjadi sentra kesusasteraan sebelumnya mengalami masa stagnasi. Pada tahun 1804, Sultan Mahmud Badaruddin II menggantikan ayahnya (Sultan Bahauddin). Masa pemerintahan Sultan badaruddin II dikenal sebagai masa usaha melawan kolonialisme Inggris dan Belanda. Pada tahun 1811, Sultan Badaruddin II berperang dengan Belanda-Perancis yang dikenal dengan Peristiwa Loji Sungai Aur. Pada tahun 1812, ia menghadapi serbuan armada Inggris. Selain itu, ia juga berperan dalam peperangan lain, menyerupai Perang Palembang 1819 Babak I dan II serta Perang Palembang 1821. Atas perjuangannya melawan kolonialisme, ia dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional.
Sultan Ahmad Najamudin II atau Sunan Husin Dhiauddin meneruskan tahta kesultanan berikutnya (1813-1817). Ia merupakan saudara dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi lantaran Sultan Mahmud Badaruddin II pernah hijrah ke Muara Rawas, dan dalam kurun waktu antara tahun 1813 sampai tahun 1818, ia juga pernah dipecat oleh Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang. Meski demikian, posisi dirinya sebagai sultan yang sah masih tetap eksis sampai tahun 1821. Sultan yang ke-9 di Kesultanan Palembang Darussalam yaitu Sultan Ahmad Najamuddin III atau yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Ratu (1919-1921). Ia merupakan putra dari Sultan Badaruddin II, yang dilantik pada tahun 1819. Ia memimpin secara bergantian dengan ayahnya sampai tahun 1921. Pada tahun ini, ayahnya (Sultan Badaruddin II) ditangkap oleh pemerintah Belanda. Sebelum diasingkan ke Ternate, ia beserta keluarga dan para pengikut setianya yang meliputi permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke pengasingan lantaran keterbatasan kapal.
Setelah Sultan Badaruddin II tidak lagi memimpin lantaran berada di pengasingan, tahta kesultanan kemudian dipegang oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Anom (1821-1823). Ia merupakan anak dari Husin Dhiauddin (Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda. Pada tahun 1823, ia melaksanakan pemberontakan kepada Belanda lantaran kontrak yang dibentuk pihak kolonial sangat merugikan kedudukannya sebagai sultan. Pada tahun ini pula ia sudah tidak lagi memimpin kesultanan lantaran dipecat oleh Belanda dan pada tahun 1925 ia gres bisa ditangkap yang mengakibatkan dirinya dibuang ke Manado. Pemerintah Belanda membubarkan Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1925. Pemerintah Belanda bekerjsama berharap bahwa Kesultanan Palembang Darussalam masih tetap eksis. Berdasarkan pengukuhan dari keluarga keturunan Sultan Badaruddin II di Ternate yang diteliti oleh seorang budayawan, Djohan Hanafiah, pihak Belanda pernah memperlihatkan kepada Sultan Badaruddin II semoga mau memimpin kembali. Namun, Sultan Badaruddin II menolak secara tegas. Alasannya, ia tidak ingin terjadi perpecahan. Ia pun berpesan semoga sebaiknya Kesultanan Palembang Darussalam Darussalam dibubarkan saja.
Setelah usang tidak eksis lagi, terdapat salah seorang keturunan Kesultanan Palembang Darussalam berjulukan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang menjadi Sultan ke-11 semenjak tahun 2006. Ia merupakan keturunan dari Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan juga Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Berdasarkan website www.sultanpalembang.com, pengukuhan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin telah direstui oleh jago nasab Kesultanan Palembang Darussalam, yakni R.M Yusuf Prabu Tenaya yang merupakan zuriat dari Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu bin Sultan Mahmud Badaruddin II, serta R.M. Syarifuddin Prabu Anom dari zuriat Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom.
4. Wilayah Kekuasaan
Kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam yaitu meliputi wilayah yang sekarang dikenal dengan Provinsi Sumatera Selatan.
5. Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam didasarkan pada prinsip tradisional, yaitu adanya korelasi antara makrokosmos dan mikrokosmos. Artinya, sultan yaitu orang yang mendapat kharisma dan legitimasi, yang mempunyai kekuatan diri sebagai gusti dan kawula lantaran mendapat wahyu dari Tuhan. Sedangkan struktur pemerintahannya berbentuk feodalisme, yaitu sultan berperan sebagai pemimpin, priyayi pembantu mediator kekuasaan, dan juga sekaligus sebagai rakyat atau abdi kesultanan.
Wewenang pemerintahan sepenuhnya dipegang oleh sultan yang bertindak sebagai kepala direktur sekaligus kepala keagamaan, yang bertanggung jawab kepada Tuhan. Dalam melaksanakan kiprah harian pemerintahan, sultan dibantu oleh tiga orang eksekutif. Pertama, Pangeran Penghulu Nataagama yang bertugas dalam urusan keagamaan dan syariat Islam. Kedua, Pangeran Natadirajo, yaitu pembantu sultan dalam bidang pelaksanaan kebijaksanaan, hukum, dan ekonomi atau keuangan di ibukota dan mancanegaro. Pangeran Natadirajo dibantu oleh Pangeran Citra sebagai hulubalang yang juga bertindak sebagai pegawanegeri keamanan. Ketiga, Syahbandar, yaitu pembantu sultan yang bertanggung jawab dalam mengurusi duduk kasus perdagangan dan urusan luar negeri, menyerupai memungut bea dan cukai bagi kesultanan dan sultan, serta melaksanakan dan menjaga aturan maritim Melayu.
Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian berdasarkan wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang berupa keraton dan mancanegaro yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kesultanan. Pembagian wilayah mancanegaro tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan lantaran faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah
sebagaimana berikut:
- Sindang, yaitu wilayah yang dimanfaatkan sebagai batas Kesultanan Palembang semoga warganya sanggup mempertahankan wilayahnya dari serangan dari luar. Warga di wilayah ini dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau pungutan tertentu.
- Sikep, yaitu dusun atau marga yang secara khusus menjadi tanggung jawab golongan priyayi yang disebut dengan “jenang”. Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikep), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
- Daerah yang dikuasai pribadi oleh sultan atau disebut dengan “pungutan”. Pajak tidak berlaku di wilayah ini, namun yang berlaku yaitu “siban” dan “tukon”, yaitu semacam monopoli komoditi oleh sultan yang dijual kepada rakyat. Dikatakan sebagai bentuk monopoli lantaran memang harganya lebih tinggi dari pasaran di ibukota kesultanan. Dalam pajak model tiban, yang dibayarkan yaitu hasil bumi, sedangkan dalam tukon yaitu berupa uang. Dengan kata lain, pungutan tersebut sebagai ganti pajak terhadap rakyat yang menempati tempat ini.
Pada masa Kesultanan Palembang lama, pernah populer suatu forum elit yang disebut dengan istilah “Fexo” atau saudagar raja Melayu. Kriteria orang yang masuk dalam forum ini yaitu orang yang kaya (hartanya). Lembaga ini biasanya menempati posisi sebagai wakil sultan, menyerupai sebagai pembesar keraton atau sebagai pemimpin di beberapa distrik kesultanan. Proses penempatannya biasanya ditentukan atas dasar kemampuan yang dimilikinya. Lembaga ini merupakan sumber keuangan bagi sultan sehingga orang-orang yang termasuk dalam fexo mendapat kepercayaan dan kasih sayang dari sultan.
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Struktur penduduk dalam pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:
- Priyayi. Golongan ini merupakan turunan raja-raja (sultan-sultan) atau kaum ningrat. Kedudukan ini biasanya diperoleh atas dasar keturunan atau atas perkenan dari sultan sendiri.
- Rakyat. Golongan ini terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok “miji” atau di tempat pedalaman disebut dengan istilah “mata-gawe”, yang meliputi menyerupai petani dan sebagainya. Kelompok ini biasanya menggalang orang-orang yang mau berperang bersama sultan atau melaksanakan pekerjaan tangan dan karya-karya seni. Setiap miji mempunyai sejumlah “alingan” (keluarga), yang tugasnya yaitu membantu pekerjaan miji. Kedua, kelompok “senan”, yaitu golongan rakyat yang lebih rendah dari miji, namun mempunyai keistimewaan tersendiri. Maksudnya, kelompok ini tidak boleh dipekerjakan oleh siapapun kecuali hanya untuk sultan, contohnya menciptakan atau memperbaiki perahu-perahu dan rumah-rumah sultan atau mendayung bahtera untuknya.
Setelah Kesultanan Palembang Darussalam runtuh, banyak hal yang mulai luntur seiring perkembangan zaman. Misalnya, corak Kota Palembang yang dulunya lebih bernuansa Islam sekarang sudah tidak kentara lagi. Di samping itu, kota ini mengalami perubahan yang cukup pesat dengan bertambahnya jumlah penduduk. Sebab, banyak penduduk dari banyak sekali tempat di Sumetara Selatan yang tiba ke Palembang untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Sumber:
Posting Komentar untuk "Kesultanan Palembang Darussalam"